HeadlineOPINIPalembangSUMSEL

OPINI: Metamorfosis Strategi Wisata Sejarah di Kota Palembang

Oleh:

Dedi Irwanto dan Rita Inderawati
Dosen Unsri Penggalak Wisata Sejarah dan Wisata Literasi Sumsel

Permasalahan Wisata Sejarah di Kota Palembang
Dipahami bersama, Palembang merupakan kota tua di Indonesia. Palembang lahir 16 Juni 682 Masehi. Sejak Raja Sriwijaya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa membaitnya dalam Prasasti Kedukan Bukit. Sejarah Kota Palembang terus terjalin sampai masa Kesultanan Palembang dilanjutkan ke masa kolonial hingga masa Pascakolonial. Perjalanan panjang dalam sejarah kota, membuat Palembang memiliki tinggalan sejarah atau situs yang cukup banyak. Tinggalan sejarah ini jelas merupakan potensi wisata sejarah cukup tinggi bagi Kota Palembang. Namun banyaknya situs sejarah ini belum tergali maksimal sebagai daya tarik wisata yang baik.
Belajar dari diskusi dalam workshop bertitel Pendampingan dan Pengembangan Strategi Wisata Sejarah di Kota Palembang yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sriwijaya. Dimana kegiatan ini melibatkan Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kota Palembang, Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Kota Palembang dan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Sumsel. Terpapar beberapa titik kelemahan wisata sejarah di Kota Palembang.
Pertama, secara okuler, wisatawan yang datang ke Palembang dan merupakan aktor utama dari sistem pariwisata di kota. Cenderung berkunjung tak berulang. Hanya sekali datang. Hal ini disebabkan para wisatawan yang datang ke Palembang sebenarnya sangat berharap ketika berkunjung di destinasi wisata sejarah di Palembang. Mereka akan memiliki sebuah pengalaman bersisi humanis, menyenangkan, dan tidak terlupakan serta menjadi salah satu bagian pengalaman terpenting dari hidupnya.
Artinya, apa yang mereka lihat dalam ekspresi destinasi wisata sejarah di Kota Palembang kurang elusif. Sederhana dan tidak multipel. Narasi yang dibangun tentang lokawisata sejarah ini tak sesuai dengan melodi “suara lain” yang mereka dengar. Para wisatawan yang sekarang umumnya pandai dan pintar ketika berkunjung ingin mengetahui lebih dalam dari apa yang mereka dengar sebelum. Namun, misal ketika mereka berkunjung yang ditemukan justru serakan, ceceran cerita bangunan-bangunan penuh mitos dan tak berlogika. Sehingga kurang berdaya tarik wisata sejarah.
Kedua, destinasi wisata di Kota Palembang belum mampu menghadirkan sisi tidak terlupakan dari para wisatawan luar yang berkunjung. Sisi ini karena imajinasi yang diinginkan dan memang seharusnya hadir di kalangan para wisatawan yang berkunjung ke Kota Palembang masih belum memenuhi ekspektasi. Palembang sebagai sebuah kota yang memiliki peradaban tua serta seharus punya sisi historis yang dalam. Namun dalam realita, masih miskin ekskursi situs wisata sejarah yang dituju. Ambil contoh, ketika wisatawan ingin mengetahui lebih dalam tentang Palembang sebagai pusat Sriwijaya. Imajinasi mereka akan menemukan kekecewaan karena hampir tak ada sama sekali ruang situs refresentasi Sriwijaya yang dapat mereka kunjungi. Mereka telah mendengar Prasasti Kedukan Bukit. Namun tak ada ruang terbuka tentang prasasti ini yang mampu mewujud rasa penasaran mereka.
Berdasarkan hal tersebut. Timbul pertanyaan apa yang harus dilakukan agar ada re-strategi dalam mengembangkan daya tarik wisata sejarah di Kota Palembang. Sekaligus langkah apa yang dapat ditempuh untuk dapat menghilangkan dahaga keingintahuan besar para pelancong luar di Kota Palembang tersebut? Agar mereka mau berkali-kali melakukan mass tourism ke Kota Palembang.
Positioning Situs dalam Wisata Sejarah Kota Palembang
Di tengah hamparan bangunan fisik wisata sejarah Kota Palembang yang kadang seperti mau bersolek. Ternyata, masih terdapat nilai jual yang masih rendah. Penyebabnya, karena kurang adanya rasa dalam detinasi wisata sejarah untuk ingin lebih dikenal dan diingat oleh para turis. Kita cermin tentang Pulau Kemaro. Manakala berkunjung ke sana. Yang diingat adalah pembeberan kisah kolot ketinggalan zaman. Kisah ambyar mitos Tan Bun An dan Siti Fatimah.
Turis disuguhkan narasi berulang tentang mitos ini. Alih-alih mendapatkan makna lain relasi hubungan Palembang dan Negara Cina dalam tradisi sejarahnya dibalik mitos itu. Selain itu, warita sejarah lain tentang Pulau Kemaro sebagai benteng pertahanan kota sejak masa lalu. Atau pembuangan para tapol dari peristiwa kelam gestapu. Seakan tenggelam oleh mitos Tan Bun An. Begitupun destinasi wisata lain seperti Bukit Siguntang. Yang lebih menampilkan deretan narasi mitos dari pada realita sejarahnya. Artinya hampir tak ada differentiation, pembeda suatu destinasi dari destinasi wisata sejarah lain di Palembang. Riwayat situs-situs sejarah di Kota Palembang lebih dibanjiri mitos.
Padahal, saat ini sudah muncul special interest tourism, wisata berfokus ketertarikan tertentu. Hadir juga niche tourism, wisatawan minat tertentu. Yang sebenarnya sangat dekat dengan objek wisata yang ada di Palembang. Ambil missal, para inbound wisatawan Malaysia sangat interest dan niche akan destinasi wisata sejarah Bukit Siguntang. Karena mereka sudah memiliki basic pelajaran sejak sekolah dasar tentang sosok Wan Malini yang berasal dari Bukit Siguntang. Namun narasi Wan Malini yang ingin dikenal dan menjadi ingatan mereka. Tak akan mereka dapat di sana.
Dinas terkait, sudah tahu kendala ini. Namun kurang usaha untuk menimilisir gegap gempita mitos dalam destinasi wisata di Kota Palembang. Salah satu solusi yang ditawarkan oleh rekan-rekan HPI Kota Palembang dalam diskusi awal di atas. Perlu adanya buku-buku panduan wisata. Tentu buku ini lebih menonjolkan realita dan narasi sejarah tentang situs-situs tersebut. Buku-buku panduan ini harus dibuat dalam bentuk popular. Sehingga mudah diterangkan kembali oleh kawan-kawan HPI ke para pelancong yang datang ke Palembang.
Buku panduan ini harus suatu mengoptimalkan narasi-narasi sejarah. Sekaligus menilisir mitos yang dibangun dalam destinasi wisata sejarah di Kota Palembang. Yang dianggap sudah kurang relevan lagi. Sebab, masa sekarang wisatawan sudah pada pandai memahami narasi sebuah situs sejarah.
Reproduksi Destinasi Wisata Sejarah Yang Tiada
Perda Kota Palembang tentang RTRW Kota 2012-2032 dengan jelaskan menfokuskan kawasan tepi Sungai Musi untuk unjuk sebagai pengembangan pariwisata budaya, pariwisata sejarah dan pengembangan water front city. Namun masih ada kelalaian menghadirkan kembali citra wisata air bernuansa sejarah di sana. Mestinya harus ada stimulus yang mengarah pada atraksi budaya air di kota. Misal adanya kegiatan massal tentang pelestarian seni dan budaya yang mengarah pada tradisi peradaban air atau maritim.
Sebab akan ada ketidakhadiran imajinasi peradaban air di kepala para wisatawan yang berkunjung. Mereka tak mampu mengingat dengan baik pola atraksi model apa yang ditawarkan Kota Palembang untuk membeda denga destinasi wisata ditempat lain. Oleh sebabnya, misal diperlukan atraksi wisata air bernuansa sejarah khas Palembang yang tak ada di kota lainnya.
Bukankah Palembang masa lalu memiliki budaya kapal roda lambung yang dikenal sebagai kapal marie? Kenapa tidak ada usaha untuk membranding penyalinan peradaban air khas kita ini. Sebab model kapal wisata Sigentar Alam yang ada saat ini justru tak bernuansa sejarah kota. Bukankah lebih keren jika wisatawan naik Kapal Marie pergi ke ulu menyusuri Musi dan anak-anak sungainya. Diatas kapal, mereka bisa berpakai ala zaman Belanda atau pakaian pasirah ulu zaman bahula. Di tiap pangkalan daerah ulu, mereka naik tangga raja, disambut seni tradisional lokal. Seperti Tanjidur di Pedamaran, atau sautan Batanghari Sembilan yang didendangkan Armadi Laga di pangkalan sungai Lematang.
Tautologi demikian juga dapat dilakukan untuk situs wisata sejarah Sriwijaya. Kecendrungan naiknya genre urban dan village tourism bisa menjadikan penghadiran kembali situs-situs Sriwijaya satu paket yang kompleks. Umpamanya, penjiplak kembali Prasasti Kedukan Bukit dengan membuat reflikasinya untuk ditautkan di situs aslinya. Akan berdampak terbentuknya village, desa wisata di kawasan Kedukan Tangga Buntung. Hadirnya desa wisata di kawasan ini akan mengarah ada responsible dan sustainable tourism. Konsep desa wisata yang melibatkan masyarakat setempat, tentu akan menghadirkan tanggung jawab akan lingkungan, usaha menaikan derajat social budaya dan ekonomi. Sekaligus menimalkan dan mengatasi dampak buruk dari branding Kampung Kedukan sebelumnya. Selain tentunya dapat memacu turis ke Kota Palembang karena mereka akan mendapatkan bagian pengalaman terpenting dan tidak terlupakan dalam hidupnya
Kehadiran dengan cara reproduksi berbagai situs masa lampau ini penting untuk menjadi strategi sekaligus menaikan bargaining daya tarik wisata sejarah di Kota Palembang. Mungkinkah? Saya piker tak sulit jika kita mau bersatu padu, bergandeng tangan dan merangkul semua komunitas yang peduli dengan masalah wisata di Kota Palembang. Ambil teladan, Yogyakarta bisa mengapa kita tidak? Semoga kelak terwujud.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *