CERPEN: Penulis Skenario oleh Purhendi
Boleh jadi, inilah honor terbesar yang kuterima selama 20 tahun aku menjadi penulis skenario. Sepuluh milyar rupiah!
Semasa kuliah dulu, aku memang sudah hobi dengan tulis-menulis. Aku ingat betul, skenario pertamaku yang ditayangkan oleh televisi lokal dibeli dengan harga dua puluh lima ribu perak. Skenarioku yang kedua drama remaja, dibayar delapan puluh ribu perak. Itupun sang pimpinan kru kasak-kusuk dengan alasan bahwa dia pun belum makan siang, juga juru kamera dan lainnya. Ujungnya, honorku disikat pula oleh mereka. Dasar tahi kucing !
Mulanya, mungkin saat itu aku agak patah arang. Entah sudah berapa puluh skenario kugarap, orang-orang televisi lokal di kotaku hanya menganggapku sebagai orang yang sedang ‘belajar’ menulis. Persetan rasanya mereka itu! Makanya dengan iseng dan gila, ketika ada seorang pejabat terjerat kasus korupsi, kutawarkan skenario bagaimana cara dia dapat meloloskan diri. Edan, si pejabat ternyata tidak tersinggung. Bahkan dia mengontrakku secara pribadi untuk membuat skenario alternatif. Dia memberiku uang muka segala sebanyak satu juta rupiah. Jelas aku merasa tak percaya. Tapi kemudian aku pun menanggapinya serius dan sok profesional.
Skenario itu pun kemudian berjalan mulus. Pengacara, polisi, dan hakim tentu saja terlibat. Plus saksi palsu sebagai penguat. Soal alibi jangan ditanya. Benar-benar mukjizat rasanya. Si pejabat bebas dari jeratan hukum dan ujung-ujungnya ada orang mengirimiku uang sepuluh juta rupiah. Dari ‘si boss’ katanya.
Masa berikutnya, aku jadi rajin menguping di pengadilan, kalau-kalau saja ada orang yang berminat dengan skenarioku. Sang hakim ketua, tentu saja telinga sekaligus mata pertamaku meskipun ia tidak mau dijadikan pelaku utama dalam skenarioku. Aku maklum.
Aneh rasanya, setelah aku sukses dengan skenario pejabat itu, justru akulah yang kemudian kerepotan mendapat pesanan skenario-skenario selanjutnya. Soal bayaran jangan ditanya, merekalah yang justru tawar-menawar. Dan aku tinggal main kipas saja menunggu endingnya. Bahkan, entah dari mana datangnya dan entah bagaimana mereka mengetahuiku, banyak orang datang ingin berguru padaku tentang menulis skenario. Sudah pasti, mereka pun mau dan berani membayar mahal asalkan mereka mau kuajari dalam menulis skenario, tentang apa saja. Ada yang mahasiswa, pegawai kantor swasta dan pemerintah, bahkan penganggur.
“Bung, ini bukan sembarang kakap. Sang boss sudah menawarkan honor sepuluh milyar untuk skenariomu ini asalkan berhasil.” Seorang utusan dari pengadilan menemuiku dengan serius. Aku agak santai menerimanya. Maklum, rasanya kini aku jadi terbiasa dengan permainan seperti ini. Bahkan terkadang, aku jadi merasa lebih penting dan lebih terhormat dari mereka.
“Untuk berapa lama ?” tanyaku kalem.
“Terserah, Bung. Seperti biasa, buatlah alternatif alurnya.”
Ketika si ajudan tadi pergi, aku mulai bermenung bagaimana memulai konflik yang wajar. Ya, tidak sampai satu jam, aku sudah menemukan jalan cerita yang bulat. Tentu saja dengan tambahan segala alternatif dan alibi.
Selanjutnya, aku hanya menyimak di koran atau televisi. Ternyata skenarioku jitu dari sidang ke sidang. Setiap episode yang dimenangkan kuikuti dengan seksama. Tampaknya aku memang kian matang menjadi seorang penulis skenario. Sebagaimana perjanjian semula, setiap episode yang dimenangkan maka aku tinggal mengecek saldo rekening tabunganku. Tampaknya sang boss yang satu ini memang tidak main-main. Dengan perasaan yang agak berdebar, terus kuikuti tiap episodenya. Dan satu episode lagi, episode terakhir, skenarioku pasti akan kembali berhasil!
Malam telah larut ketika aku terjaga oleh dering telepon.
“Halo, maaf Pak, mengganggu malam-malam. Mudah-mudahan Bapak masih mengenal suara saya.” Suara di telepon terdengar agak menyebalkan.
Ya, rasanya aku memang mengenal suara itu tapi entah siapa. Mungkin karena aku baru bangun sehingga pikiranku masih agak butek.
“Siapa, ya?” Kucoba menyidik.
“Salah satu murid Bapak yang paling berbakat dengan potongan rambutnya yang aneh.” Suara di seberang sana terdengar enteng namun menyebalkan.
Hah, Si Jabrikkah? Ya, hanya satu orang yang pernah berguru menulis skenario padaku yang mempunyai ciri seperti itu. Ia aneh, namun cerdas. Kadang ide-idenya terlalu berani dan mengerikan!
“Jabrik?”
“Ternyata ingatan Bapak masih tajam.”
“Ada apa, di mana kamu, apa kabarmu ?”
“Saya ada di kota ini. Saya baik-baik saja. Langsung saja, Pak, saya sangat faham dengan skenario-skenario Bapak selama ini. Namun sayang, pada episode kali ini, khususnya episode terakhir, Bapak terlalu yakin. Bapak salah memilih sutradara. Kita tunggu saja, bagaimana endingnya kali ini!” telepon itu langsung ditutup. Kucoba berhalo-halo, namun sia-sia.
Perasaanku tiba-tiba was-was, gelisah, cemas, atau entah apa namanya. Sampai menjelang fajar aku baru bisa tertidur.
Sekitar jam delapan pagi aku baru bangun. Seperti biasa aku ke taman di belakang rumah sekedar meregangkan otot. Namun jantungku serasa rontok manakala kudapati kedua anjing hederku terkapar dengan lehernya yang menganga.
“Maaf, ini sekedar contoh alibi, atau katakanlah sekedar improvisasi dari skenario episode terakhirmu. Kita tunggu saja endingnya!” demikian tulisan dalam secarik kertas berlumur darah yang terselip di balik leher salah satu herderku.
Palembang, 2002
