google-site-verification: google09076e6a44bdb237.html OPINI: RELEVANSI POLA PIKIR KRITIS-PRAKTIS BAGI KONSUMEN – Mediasriwijaya
HeadlineOPINIPalembangPendidikanSUMSEL

OPINI: RELEVANSI POLA PIKIR KRITIS-PRAKTIS BAGI KONSUMEN

OLEH: Ign. Heri Satrya Wangsa
Program Studi Manajemen Fakultas Bisnis & Akuntansi Universitas Katolik Musi Charitas – Palembang
email: ig_heri@ukmc.ac.id

Eksistensi Manusia
BERPIKIRr merupakan aktualisasi eksistensi manusia. Ini mengindikasikan munculnya permasalahan dalam dinamika kehidupan manusia, yakni berpikir sebagai kegiatan merespon gap antara apa yang diharapkan (expected) dengan apa yang ditemui dalam situasi yang sebenarnya (actual). Dalam konteks ini manusia memiliki kapasitas mengoperasionalisasikan aset-aset strategis dari keseluruhan potensi kognitifnya untuk berpikir secara kritis.Didalamnya terdapat proses negosiasi pencapaian nilai guna (utility) yang ekuivalen dengan sumber daya (resources) yang digunakan. Pandangan ini menempatkan manusia yang sebagai makhluk rasional-ekonomis, selalu berorientasi pada pengalokasian sumber-sumber daya bagi pencapaian nilai guna yang maksimal.
Pada tingkatan realitas sosial, manusia mampu mengembangkan kemampuan sosialnya untuk menjalin relasi dan interaksi dengan sesamanya. Domain sosial eksistensi manusia ini diintegrasikan dalam kapasitas berpikir dan egoisme ekonomis, yakni relasi yang menguntungkan sekaligus mengantar kepada maksimalisasi manfaat ekonomis. Kehidupan praktis mampu memberi gambaran jelas bahwa antara egoisme ekonomis dalam format realitas sosial ini manifestasinya adalah bentuk-bentuk relasi, jaringan sosial, dan kerjasama. Nilai-nilai efisiensi dan efektivitas tercipta sedemikian rupa sehingga segala gagasan dan tindakan menjadi aset ekonomis. Disini keterikatan manusia dengan manusia yang lain memiliki orientasi keuntungan mutual (mutual benefit). Oleh karenanya berpikir kritis bagi aktualisasi eksistensi manusia adalah pembentukan identitas sosial-ekonomis denganberbagai atribut obyektifitas untuk melihat(to see), menilai(to value), memilih(to choose) dan menentukan(to decide) sebagai bagian proses berpikir yang ketat dengan prinsip-prinsip relevansi (relevance) dan keterhubungan (relatedness).

Pola pikir kritis

Berpikir kritis merupakan bentuk pengembangan kemampuan bernalar menggunakan standar pemahaman, yakni: (1) Menemukan dan mendefinisikan konsep yang mengandung kebenaran obyektif dan dapat diterima secara universal ; (2) Menghubungkan konsep satu dengan lainnya dalam sebuah pernyataan (proposition) yang dapat dipahami ; dan (3) Menghubungkan pernyataan-pernyataan yang ada dalam proses penarikan kesimpulan terstruktur dan memiliki pola. Ini merupakan tradisi berpikir logis yang sudah dimulai oleh Aristoteles. Logis berarti memenuhi tuntutan keteraturan dalam mengorganisasi ide dan gagasan yang runtut dan mampu dikomunikasikan (communicable).
Kritis berorientasi detil, rinci dan lengkap ketika sebuah konsep dimunculkan sekaligus didefinisikan. Konteksnya adalah interaktivitas manusia dengan lingkungannya yang mampu ditangkap melalui kapasitas berpikir kritis untuk mengenali sebuah fenomena. Konsep yang muncul mampu didefinisikan secara jelas karena konsep itu sendiri bersifat representatif. Konsep adalah gambaran utuh merepresentasikan sebuah fenomena.

Pola pikir kritis konsumen

Pola pikir kritis selalu menarik untuk dipertanyakan karena berpikir kritis itu tidak mudah. Karakter personal yang emosional seringkali mendistorsi pemahaman. Disini dapat diketahui bahwa manusia juga rentan dan mudah terbawa dalam sebuah pemahaman yang tidak lagi obyektif. Fenomena dikenali secara terpecah(fragmented)oleh berbagai kepentingan yang mulai mengintervensi.
Sudut pandang ekonomis dalam aktivitas mengkonsumsi (to consume) berikut pengakuannya sebagai konsumen (consumer) mengarahkan relevansi pola pikir kritis ini kepada tren kekinian lingkungan konsumtif. Lingkungan konsumtif terbentuk ketika aktivitas konsumsi menjadi bagian utama keseharian hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan (needs) dan keinginan (wants). Konsumen dan hakikat aktivitas konsumtifnya memperkaya diskusi relevansi pola pikir kritis dari dua aspek, masing-masing: (1) Keterbatasan sumber daya menempatkan konsumen yang akan terus mencari kombinasi terbaik dalam mengalokasikan sumber-sumber daya yang terbatas(limited resources) ; dan (2) Lingkungan kompetitif menciptakan sebuah kondisi ketidakseimbangan karena para pelaku ekonomi mempunyai orientasi nilai guna (utility) yang berbeda.
Aspek keterbatasan sumber daya (limited resources)dapat dikritisi sebagai pilihan-pilihan yang semakin sedikit, dan keterbatasan kemampuan sumber daya dalam menghasilkan nilai guna yang diharapkan. Sedangkan aspek lingkungan kompetitif (competitiveness) dibentuk melalui dinamika pasar yang berusaha mengadopsi berbagai kepentingan. Konsekuensinya adalah pasar yang mudah berubah dan tidak konsisten.
Pengertian pola pikir kritis konsumen mengkondisikan kemampuan merasionalisasi perilaku ekonomisnya secara proporsional, yakni tingkat nilai guna yang proporsional dengan kepuasan yang diharapkan. Sebagaimana teori perilaku konsumen yang menjelaskan tentang nilai guna marjinal, yaitu tambahan nilai guna yang semakin menurun (sedikit),makapola pikir kritis konsumen adalah rasionalisasi produk pengganti (substitute product). Ketika nilai guna marjinal suatu produk semakin menurun, maka perlu dipertimbangkan untuk beralih pada produk pengganti sehingga nilai guna itu bisa selalu diperbaharui.
Pada aspek lingkungan kompetitif diasumsikan pasar yang selalu memberi tantangan dimana konsumen perlu lebih kritis akan terciptanya sumber daya informasi. Era informasi adalah tren kekinian dimana perkembangan ilmu pengetahuan membawa perubahan revolusioner bagi cara berpikir dan bertindak melalui kehadiran teknologi. Informasi ini menjadi sumber daya ketika dipakai sebagai sarana membangun keyakinan pasar. Dalam situasi pasar yang terdistorsi oleh berbagai kepentingan, maka informasi berpotensi menjadi bias. Pola pikir kritis konsumen mengarahkan kepada proses penalaran yang tidak saja memenuhi kaidah formal (logika formal) melainkan juga kaidah material (logika material). Kelengkapan formalisme dan materialisme inilah yang dipakai oleh pola pikir kritis konsumen ketika harus mengkonfirmasi kebenaran sebuah informasi.

Situasi praktis

Kemungkinan bias informasi terjadi ketika bisnis memiliki otoritas membangun keyakinan pasar dalam pesan-pesan iklan. Dalam pengertian aspek lingkungan kompetitif esensi eksistensi iklan adalah sarana efektif menyampaikan pesan komersial keunggulan produk. Disini pesan dikemas secara komersial, bersifat menjual sekaligus memiliki target untuk merebut perhatian pemirsanya. Potensi bias terjadi ketika kemasan pesan dibuat secara berlebihan (redundant), menggunakan data-data pendukung yang tidak akurat.
Sisi lain dari situasi praktis adalah konsumen yang mengalami tekanan bagi pemenuhan kebutuhan dan keinginan. Urgensi pemenuhan kebutuhan dan keinginan seringkali mengabaikan rasionalitas ekonomis sehingga pengambilan keputusan dalam ruang perilaku konsumennya dipengaruhi oleh situasi tak-terkontrol. Pandangan konseptual keperilakuan (behaviorism) melihat stimulus yang telah dimanipulasi. Perkembangan pengetahuan dan teknologi mampu memanipulasi pesan-pesan komersial yang kemudian direspon dalam bentuk perilaku pembelian tak-terencana (unplanned buying behavior), atau perilaku pembelian emosional (emotional buying behavior) sebagaimana disampakan melalui publikasi artikel jurnal yang dilakukan oleh Penulis berkaitan dengan kajian mengenai perilaku pembelian emosional.Publikasi artikel tersebut masing-masing berjudul: (1) Price-cut and consumer: A qualitative study of buying power in the Indonesian market (dalam Integritas – Jurnal Manajemen Bisnis – Prasetya Mulya Business School Vol. 2, No. 3,pp. 155-234 Desember 2009 ISSN 1979-2964) ; (2) The insights on perceived price-quality (dalam International Research Journal of Business Studies Vol. 4, No. 3,pp. 229-251 Desember 2011 ISSN 2089-6271) ; dan (3) Belief strength in low-priced product consumption experience (dalam Jurnal Manajemen & Bisnis Indonesia – Forum Manajemen Indonesia Vol. 1, No. 1, pp. 105-126 Oktober 2013 ISSN 2338-4557).
Dalam kajian mengenai perilaku pembelian emosional tersebut diidentifikasi pola pembelian impulsif (impulsive buying) dimana konsumen sangat responsif terhadap perubahan harga. Pembelian emosional juga terkait dengan proses penalaran harga-kualitas yang lemah. Egoisme ekonomis itu ternyata kegagalan penalaran antara tingkat alokasi sumber daya dengan kepuasan atas nilai guna yang diperoleh. Tingkat respon emosional terhadap harga ditunjukkan melalui pertimbangan parsial dan tidak proposional, yakni harga yang dipersepsi murah tanpa melihat nilai pengorbanan yang mestinya ekuivalen dengan manfaat yang diterima.
Kajian yang dilakukan oleh Streicher dkk (2021) dalam artikel jurnal berjudul “Exploratory shopping: Attention affects in-store exploration and unplanned purchasing” (dalam Journal of Consumer Research Vol. 48, pp. 51- 73, tahun 2021) memberi gambaran mengenai kecanggihan lingkungan belanja (shopping environment). Lingkungan belanja diciptakan menjadi sebuah ruangan yang dipenuhi atribut-atribut yang mampu mengalihkan perhatian konsumen. Kajian ini juga menghasilkan temuan mengenai mindset ekploratoris (exploratory mindset) yakni kecenderungan mengatur lingkup perhatian terhadap obyek visual maupun fisik dalam ruangan belanja (shopping space) yang mempengaruhi perilaku pembelian impulsif.

Orientasi konsumen

Pertanyaannya adalah bagaimana deskripsi konsep pola pikir kritis relevan dalam konteks lingkungan manipulatif-konsumtif. Pola pikir kritis-praktis tidak hanya menyinggung mengenai daya respon aset-aset kognitif(cognitive faculties) konsumen dalam lingkungan belanja tetapi juga kemampuan untuk melihat secara proporsional hubungan antara nilai pengorbanan (sacrificial value)dan nilai manfaat(benefit value). Pemahaman tentang proporsi ini menjadi pondasi dalam proses penalaran ketika konsumen dihadapkan pada pilihan bagi tindakan terbaiknya. Secara keilmuan, berpikir kritis-praktis ini dikonfirmasi melalui disiplin logika sebagai sarana sahih memvalidasi dan mengenali sebuah kebenaran (the truth). Persyaratan formal-material melihat urgensi aktivitas penalaran yang secara ketat menuntut kelengkapan. Formalitas berarti pengakuan sebagai sarana penalaran, sedangkan material menyangkut isi (content) yang dapat diterima secara universal.
Pola pikir kritis-praktis mengembalikan pengertian orientasi konsumen kepada sistem keyakinan(belief system)bahwa dinamika dalam lingkungan manipulatif-konsumtif tetap memberikan pilihan dan kesempatan, misalnya ketika tren kekinian menghasilkan nilai-nilai kebaruan (new values) dalam budaya digital (digital culture). Resiko lemahnya tingkat akurasi informasi dalam budaya digital adalah persoalan ketrampilan penalaran. Informasi sebagai sumber daya menuntut pengelolaan strategis bagi pemenuhan kebutuhan dan keinginan yang mampu untuk dibatasi. *)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *