OPINI: Kefasihan Digital
Oleh: Ign. Heri Satrya Wangsa*)
*) DosenDigital Marketing, Program Studi Manajemen, Fakultas Bisnis & Akuntansi, Universitas Katolik Musi Charitas
Modal sosial
Masuknya era digital menghasilkan kosa kata baru kolektifitas, yakni terbentuknya masyarakat pembelajar (learning society) dipicu melalui serangkaian kebaruan yang memotivasi seseorang untuk mengenali sekaligus menghubungkan dengan berbagai manfaat praktis. Produksi kebaruan dalam era digital menghasilkan pengetahuan baru yang terakumulasi begitu cepat. Kebaruan itu sendiri telah masuk ke dalam ranah kebutuhan membentuk jaringan sosial sebagai sarana sosial interaksional, yakni individu yang difasilitasi oleh produk-produk bermuatan teknologi (technologically-driven product)untuk mengungkapkan kebutuhan eksistensi sosialnya.
Data pada tahun 2021 menunjukkan nilai transaksi ekonomi digital di Indonesia mencapai USD 70 miliar. Tumbuh sebesar 49% (https://inet.detik.com/business/d-5966028/ekonomi-digital-indonesia-terbesar-di-asia-tenggara-tahun-2021). Kenaikan nilai transaksi ekonomi digital ini setidaknya memberi gambaran intensitas antusias pelaku pasar mengadopsi perkembangan kecanggihan digital. Fakta lain misalnya, pertumbuhan pasar PC (desktop, notebook, workstation) Indonesia pada enam bulan pertama 2021 yang mengalami kenaikan sebesar 50% atau total 2,06 juta unit.(https://selular.id/2021/09/idc-top-5-indonesia-pasar-pc-tumbuh-50-selama-h1-2021).
Para kaum milenial tentu tidak asing lagi dengan platform jaringan sosial (social networking). Dari sekedar mencari teman baru sampai kepada tuntutan untuk mengikuti, menyesuaikan, dan mengadopsi berbagai fitur sarana-sarana kecanggihan digital yang ada sampai terbentuk sebuah profesionalitas (Chaker, 2020). Di Indonesia fenomena ini ditunjukkan oleh peningkatan jumlah pengguna akun media sosial yang mencapai 61,8% pada Januari 2022 (https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2021/).
Kebutuhan manusia untuk dapat diperhatikan, diakui dan diterima secara sosial bergeser kepada konsekuensi keterbukaan terhadap berbagai kecanggihan produk-produk bermuatan teknologi. Park (2017) dalam artikel jurnal penelitian berjudul “Digital Fluency” menyebut sebagai kefasihan digital, yaitu keadaan sosial era digital yang terkondisikan oleh keterbukaan terhadap kebaruan ; diikuti aksi dan tindakan ekstrim untuk merespon dan mengadopsi sehingga terbentuk pola pikirbaru. Meminjam teori pembelajaran Piaget (Piaget, 1976) mengenai kefasihan sebagai capaian dan keberhasilandalam proses pembelajaran asimilatif dan akomodatif. Pada pendekatan kognitif Piaget ini kebaruan diseleksi dan dipilah menyesuaikan struktur kognitif yang ada (existing cognitive structure)tiap individu. Sedangkan akomodatif lebih fleksibel menerima kebaruan sebaga embrio bagi struktur kognitif baru.
Arah kefasihan
Melihat tren digital saat ini menarik didiskusikan arah kefasihan digital sebagai produk dari modal sosial digital.Apabila modal sosial merupakan hasil akumulasi pengetahuan masyarakat yang semakin berkembang dan maju mengikuti tren digital dengan seperangkat nilai kecepatan(speed), ketepatan(accuracy) dan keluasan(expandable) (Wangsa, 2022), maka karakter keterbukaan dapat ditempatkan sebagai konsekuensi sosial ketika fungsi sosial itu sendiri mengintervensi individu dalam lingkungan pembelajaran ie. individu yang diperkenalkan dan dikondisikan oleh dinamika kebaruan.
Chaker (2020) dalam artikel jurnal Italian Journal of Sociology of Education berjudul “Digital Skills Are Predictors of Professional Social Capital Through Workplace And Social Recognition” menyebutkan konsep modal sosial kognitif (Tantardini & Kroll, 2015) sebagai tujuan, norma dan nilai-nilai yang dibagikan. Artinya, arah kefasihan digital adalah sebuah sistem yang mampu menghasilkan kesepakatan kolektif(collectivism), mengakumulasi pengetahuan sekaligus membawa sejumlah keterikatan sosial(social consequences). Konflik-konflik biasanya muncul karena tujuan, norma dan nilai-nilai yang dibagikan itu kemudian dinegosiasikan. Pada tingkat individual masuknya sistem baru membawa kepada proses penerimaan. Konteks pemasaran digital memperkenalkan proses tersebut sebagai pengalaman afektif dan kognitif (Barari et al., 2020).
Kefasihan digital menjadi sentral dalam membawa, memperbaiki dan memperbaharui sistem yang ada (existing system). Kepraktisan sebagai model baru memberi pencerahan (enlightenment) ketika sebagian besar orang (majority) menginginkan dan meng-ekspose kepada perubahan. Sejumlah peluang praktis-ekonomis menciptakan produk-produk baru berbasis jasa (service-based) dalam apa yang disebut sebagai pemasaran jasa (digital marketing). Produk menjadi semakin abstrak dan tak-terlihat (intangible). Pasar kemudian membutuhkan keahlian baru (new expertise) di bidang media sosial, yakni kemampuan mengelola harapan dalam sosialitas pasar melalui kepakaran mengemas informasi misalnya dalam konsep pemasaran isi (content marketing).
Nilai independensi
Sistem sosial dapat sampai pada titik jenuh karena konsekuensi berbagai penyesuaian terhadap perubahan. Keterikatan sosial melalui interaktivitas relasional membuat individu terkondisikan untuk memproduksi kebaruan. Sistem yang dibagikan (shared system)mengikat individu-individu di dalamnya pada tuntutan kreatifitas yang tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Dalam sistem tersebut individu dikondisikan secara ketatuntuk berkontribusi pada kemajuan lingkungannya. Sistem tersebut menjadi terlalu ekonomis dalam lingkungan yang semakin kompetitif. Kompetisi yang terarah pada pemerolehan kepemilikan (acquisition of ownership) sumber daya bernilai ekonomis yang lebih besar.
Dalam lingkungan organisasional individu menjadi sumber daya potensial yang secara sadar terekspose nilai-nilai efisiensi dan efektivitas untuk mencapai tujuan organisasional. Individu ditempatkan sebagai sumber daya bernilai strategis karena memiliki modal intelektual (intellectual capital). Keterikatan organisasional ini menjadi bagian dari profesionalitas dimana inidividu di dalamnya dibentuk untuk memiliki komitmen dan loyalitas bagi kemajuan organisasinya. Ada tuntutan untuk memiliki ketrampilan-ketrampilan praktis, kemampuan berkolaborasi mengelola pengetahuan(knowledge management), yaknipengelolaan aset strategis kecerdasan manusia. Pandangan ini kemudian memunculkan kebutuhan akan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan era teknologi kekinian mampu meresponnya.
Gagasan kecerdasan buatan adalah pengosongan (obsolence)peran manusia. Kemajuan teknologi berusaha menggantikan eksistensi manusia.Secara kontradiktif keadaan ini mengembalikan nilai-nilai independensi, manusia yang tidak dapat diatur oleh segala kemajuan hasil ciptaannya.Independensi ekonomis merupakan upaya membentuk otoritasdalam mengalokasikan sumber daya strategis. Otoritas dilandasi kemampuan individu mengenali aset untuk mengembangkan usaha-usaha kemandirian, mencapai kecukupanbagi dirinya sendiri (self-sufficiency) sekaligus melepaskan keterikatan formal.
Dengan demikian, logika dalam kefasihan digital mampu mengkondisikan interaktivitas setidaknya dalam dua domain. Pertama, modal sosial digital yang dibentuk secara sistematis oleh pembelajaran terhadap kebaruan. Kedua, akumulasi pembelajaran dalam ruang modal sosial digital menghasilkan nilai-nilai independensi ekonomis.
Kajian strategis kewirausahaan digital
Berawal dari nilai independensi ekonomis muncul alternativitas yang difasilitas lingkungan digital saat ini dalam gagasan kewirausahaan digital. Pada masa global pandemi 2020-2021 terjadi intensitas keterlibatan teknologi digital yang dipakai, dipraktekkan, diterapkan dalam tataran yang lebih luas. Secara positif keadaan ini memberi tekanan pada upaya-upaya kreatif-praktis yang kemudian melahirkan kewirausahaan digital.
Munculnya platform toko online, misalnya, merupakan gagasan kreatif-independen mengadopsi atribut-atribut kepraktisan dan independensi pilihan bebas.Produk mudah diketahui deskripsinya, dikemas melalui tampilan dekoratif yang dapat di-update, dimaksukkan ke dalam sistem yang menjamin berbagai bentuk kemudahan dan pilihan.Independensi tersebut adalah orang yang tidak lagi tergantung pada formalisasi sistem konvensional. Dan sebaliknya, kesempatan yang lebih luas bagi pemenuhan kebutuhan esensial afektif untuk lebih dihargai, diterima, dihormati yang dimanifestasikan produk-produk eksklusif .Ini merupakan gambaran pasar yang semakin menuntut kenyamanan, kemudahan dan fleksibilitas tinggi.
Kewirausahaan digital merupakan produk pergeseran peran pengguna (to consume) menjadi peran pencipta (to produce). Esensi multi peran pengguna-pencipta adalah perkembangan kapasitas pemenuhan keingintahuan individu yang mampu mencapai titik maksimal independensi, yakni ketika individu menemukan peluang untuk memberdayakan aset potensial ekonomisnya.
Inilah kontribusi era digital yang menjadi saksi perjalanan peradaban manusia bersama berbagai kemajuan yang telah dan sedang dihasilkan. Kefasihan digital telah menyediakan berbagai kesempatan dan tantangan. Siapkah kita menyambutnya? *)
