OPINI: Digitalisasi Industri Halal: Solusi atau Tantangan bagi UMKM?
Oleh:
Dr. H. Mohammad Syawaludin, M.A
Dosen Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, sekitar 231 juta jiwa, memainkan peran penting dalam industri makanan halal global. Permintaan yang terus meningkat terhadap produk halal telah mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat, terutama di sektor usaha mikro dan kecil (UMK). Munculnya neoliberalisme digital, yang ditandai dengan deregulasi pasar dan ekspansi platform digital, telah mengubah industri makanan halal dengan meningkatkan akses pasar, efisiensi, dan inovasi. Namun, fenomena ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai komersialisasi sertifikasi halal, pelemahan nilai etis, dan monopoli korporasi besar, yang mengancam keberlanjutan bisnis halal skala kecil.
Melalui kacamata mengintegrasikan teori ekonomi neoliberal dengan sosiologi budaya, terutama teori distingsi Bourdieu, konsep simulakra Baudrillard, dan fetisisme komoditas Marx, untuk menganalisis bagaimana digitalisasi mengubah konsumsi halal, identitas, dan struktur ekonomi. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun platform digital menciptakan peluang baru bagi UMK halal, mereka juga membuka potensi eksploitasi oleh korporasi besar dan kekuatan pasar yang tidak terregulasi. Oleh karena itu, diperlukan kerangka regulasi yang seimbang agar makanan halal tetap menjadi sektor yang inklusif dan etis, mendukung pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga integritas keagamaan. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia (sekitar 231 juta jiwa, atau 87% dari total populasi), telah menempatkan dirinya sebagai pemain utama dalam industri makanan halal global. Permintaan yang meningkat terhadap produk bersertifikat halal telah mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang mencakup 99% dari seluruh bisnis di Indonesia dan menyumbang hampir 61% dari PDB nasional (BPS, 2023).
Fakta menunjukan bahwa pesatnya perkembangan teknologi digital serta meningkatnya kebijakan ekonomi neoliberal semakin mengubah lanskap industri makanan halal. Di satu sisi, platform digital dan e-commerce telah memberikan akses pasar yang lebih luas bagi bisnis makanan halal. Namun, di sisi lain, komersialisasi sertifikasi halal, monopoli pasar, dan persaingan digital yang tidak terkontrol menjadi ancaman bagi keberlanjutan usaha halal skala kecil. Dominasi marketplace digital besar (seperti Shopee, Tokopedia, dan Amazon Halal Market) memungkinkan korporasi multinasional menguasai rantai pasok, sering kali menekan produsen kecil yang bersertifikat halal. Selain itu, otomatisasi verifikasi halal dengan sistem berbasis kecerdasan buatan (AI), meskipun meningkatkan efisiensi, juga berisiko mengurangi peran otoritas keagamaan tradisional, yang memunculkan kekhawatiran terhadap keaslian dan integritas spiritual sertifikasi halal.
Lebih jauh, ketergantungan yang semakin besar pada algoritma media sosial dan pemasaran influencer dalam promosi produk halal menimbulkan masalah etika, terutama terkait dengan manipulasi konsumen dan komodifikasi nilai-nilai keagamaan. Seiring dengan semakin kuatnya peran teknologi informasi dalam industri makanan halal global, tantangan baru pun muncul, termasuk tata kelola digital, keamanan data, dan praktik konsumsi yang etis.
Oleh karena itu, meskipun transformasi digital memberikan peluang besar bagi inovasi dalam industri halal, diperlukan kerangka regulasi yang lebih kuat untuk memastikan bahwa teknologi tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tetap menjaga keaslian nilai-nilai agama, serta mencegah eksploitasi yang didorong oleh pasar neoliberal. Populasi Muslim yang terus bertambah, meningkatnya permintaan akan makanan halal, dan kontribusi UMKM yang semakin besar terhadap perekonomian menunjukkan bahwa sektor makanan halal di Indonesia kuat dan tangguh. Namun, untuk mempertahankan pertumbuhan ini, diperlukan kebijakan yang inklusif, dukungan finansial bagi UMKM, dan regulasi halal yang lebih ketat. Selain itu, pemanfaatan teknologi digital secara bertanggung jawab dapat membantu bisnis kecil berkembang tanpa mengorbankan integritas halal.
Melihat tren utama muslim di Indonesia dalam lima tahun terakhir: Pertumbuhan Populasi Muslim yang Stabil meningkat dari 225 juta jiwa pada 2018 menjadi 231 juta jiwa pada 2023 ini pertumbuhan ini didorong oleh tingkat kelahiran yang tinggi serta preferensi budaya yang kuat dalam mempertahankan hukum makanan Islam. Akibatnya, permintaan terhadap produk makanan halal terus meningkat, yang tidak hanya mempengaruhi konsumsi domestik tetapi juga ekspor global. Selain itu meningkatnya Pasar Makanan Halal; Nilai pasar makanan halal di Indonesia tumbuh dari USD 120 miliar pada 2018 menjadi USD 164 miliar pada 2023. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap ekspansi ini antara lain: Dukungan pemerintah, termasuk Program Sertifikasi Halal Nasional. Ada Kesadaran konsumen yang meningkat terkait integritas halal dan keamanan pangan. Ada Pertumbuhan platform digital dan e-commerce, yang membuat produk halal lebih mudah diakses. Peluang ekspor, karena merek makanan halal Indonesia mulai menembus pasar internasional, khususnya di Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Eropa. Sisi lain Kontribusi UMKM terhadap PDB yang Semakin Besar Kontribusi sektor UMKM terhadap PDB meningkat dari 55% pada 2018 menjadi 61% pada 2023, dengan bisnis makanan halal memainkan peran yang signifikan.
Pertumbuhan ini terutama disebabkan oleh: Digitalisasi dan adopsi fintech – Banyak bisnis halal kecil kini beroperasi di platform seperti Tokopedia, Shopee, dan Halal Marketplace, memungkinkan mereka menjangkau pasar yang lebih luas. Kebijakan pemerintah – Program seperti sertifikasi halal wajib (UU No. 33/2014) telah mendorong lebih banyak UMKM untuk masuk ke pasar halal. Perubahan preferensi konsumen – Permintaan yang semakin besar terhadap produk yang bersertifikat halal, organik, dan berbasis etika telah mendorong pertumbuhan bisnis halal skala kecil. Tren ini menegaskan bahwa makanan halal bukan hanya kebutuhan religius, tetapi juga penggerak utama perekonomian. Namun, dengan meningkatnya peran platform digital dan kebijakan neoliberal, sektor ini menghadapi dilemma yakni Peluang: Ekspansi bisnis bersertifikat halal melalui e-commerce dan fintech. Risiko: Dominasi pasar oleh korporasi besar, yang mengancam keberlanjutan UMKM tradisional.
Oleh karena itu, pelaku usaha UMKM dan sejenisnya secara kritis harus berefleksi apakah neoliberalisme digital mendorong inovasi atau justru menyebabkan eksploitasi terhadap bisnis makanan halal di Indonesia. Ini sangat penting untuk memahami bagaimana neoliberalisme digital memengaruhi perdagangan makanan halal global. Penelitian ini memberikan wawasan tentang bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan inovasi digital untuk memperkuat diplomasi ekonomi, memfasilitasi perdagangan internasional, dan mendorong pertumbuhan inklusif dalam ekonomi halal global. Namun, kebijakan yang diterapkan harus memastikan bahwa digitalisasi tidak mengarah pada monopoli korporasi, melainkan memberdayakan UMKM dan mendukung integrasi ekonomi lintas batas yang berkelanjutan.
Kesiapan UMKM Indonesia dan Tantangan di Daerah
Digitalisasi industri makanan halal menghadirkan peluang besar bagi UMKM di Indonesia, tetapi kesiapan mereka untuk bersaing di pasar digital masih menghadapi berbagai tantangan, terutama di daerah. Beberapa faktor yang menentukan kesiapan UMKM dalam menghadapi neoliberalisme digital di sektor halal antara lain: Akses Teknologi dan Digitalisasi di UMKM Halal; Urban vs. Rural Divide: UMKM di perkotaan, terutama di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya, lebih cepat mengadopsi digitalisasi dibanding UMKM di daerah terpencil seperti Sumatra, NTT, atau Kalimantan, yang masih terbatas dalam akses internet dan teknologi. Adopsi e-Commerce: Hanya sekitar 25% UMKM di Indonesia yang telah memanfaatkan platform digital seperti Tokopedia, Shopee, atau Halal Marketplace (Bank Indonesia, 2023). Literasi Digital: Banyak UMKM halal, terutama di daerah, masih kesulitan memahami strategi pemasaran digital, pembayaran online, dan manajemen rantai pasok berbasis teknologi.
Selain itu, Regulasi dan Biaya Sertifikasi Halal, Penerapan UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang mewajibkan semua produk bersertifikat halal, masih menjadi tantangan bagi UMKM daerah karena: Biaya sertifikasi yang mahal (rata-rata Rp 2 juta – Rp 5 juta per produk ada juga tidak berbayar). Proses yang kompleks, yang lebih mudah diakses oleh perusahaan besar daripada UMKM kecil. Kurangnya pendampingan di daerah, di mana hanya beberapa lembaga sertifikasi halal beroperasi secara aktif. Karena itu, Persaingan dengan Korporasi Besar Dominasi Marketplace: Algoritma platform digital cenderung lebih menguntungkan brand besar, sehingga UMKM halal di daerah sering kali kesulitan mendapatkan visibilitas. Rantai Pasok: UMKM halal masih bergantung pada bahan baku dari pemasok besar, yang sering kali lebih mengutamakan perusahaan multinasional. Harga dan Kepercayaan Konsumen: Produk halal dari UMKM sering kalah bersaing dengan produk korporasi besar yang memiliki sertifikasi global dan harga lebih kompetitif.
Peran Pemerintah dan Inisiatif Lokal
Beberapa daerah di Indonesia telah memulai program untuk memperkuat UMKM halal berbasis digital, misalnya: Jawa Barat: Program One Pesantren One Product (OPOP) yang mendorong pesantren di daerah untuk memproduksi dan memasarkan makanan halal berbasis digital. Sumatra Barat: Penguatan sektor halal melalui “Halal Park” yang mendukung UMKM lokal dengan sertifikasi dan pemasaran digital. Bali & Lombok: Pengembangan Halal Tourism yang memberikan peluang bagi UMKM makanan halal untuk berkembang di sektor pariwisata.
Tantangan di Balik Tren Ini
Meskipun tren ini menunjukkan perkembangan positif, terdapat beberapa tantangan yang dapat memperlambat atau menghambat pertumbuhan sektor makanan halal: Tekanan Pasar Neoliberal seperti Korporasi makanan multinasional besar mendominasi industri ini, sehingga bisnis halal kecil sulit bersaing. Belum lagi Tingginya Biaya Sertifikasi Halal – Banyak UMKM kesulitan membayar biaya sertifikasi dan kepatuhan terhadap regulasi halal, yang membatasi peluang ekspansi mereka, meskipun ada yang tidak berbayar. Resiko Monopolisasi Digital, meskipun e-commerce meningkatkan penjualan halal, algoritma platform sering kali lebih menguntungkan merek besar dibandingkan produsen kecil, yang mengurangi visibilitas pasar bagi UMKM.
Dengan demikian, meskipun digitalisasi memberikan peluang besar bagi industri halal, diperlukan regulasi yang tepat untuk memastikan bahwa pertumbuhan ini tetap inklusif dan tidak hanya menguntungkan pemain besar di pasar. Dukungan pemerintah dalam literasi digital, subsidi sertifikasi halal, dan regulasi e-commerce yang lebih adil sangat diperlukan agar UMKM tidak hanya menjadi konsumen dalam ekosistem digital, tetapi juga pemain utama yang mampu bersaing dengan korporasi besar di pasar halal global.(*)
