Ketum PERJAKIN Beri Tanggapan Terkait Pandora Papers
JAKARTA, MEDIASRIWIJAYA – Belakangan ini kita dihebohkan dengan seputar Pandora Papers, ini adalah bisa dikatakan “skandal” untuk kesekian kali terkait dengan papers-papers ini. Dahulu ada yang namanya paradise papers dan lain sebagainya.
Dalam skandal itu nama-nama pejabat tinggi, atau bahkan juga pengusaha-pengusaha kelompok atas, masyarakat kelas atas ini, dimana digolongkan sebagai orang-orang super kaya.
Demikian diutarakan oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Pengacara Pajak Indonesia (PERJAKIN) Pusat Petrus Layoni, SH.,MH.,MBA in finance & banking.,CBL.,CTL.
Dikatakan Petrus Layoni, ini menjadi atau digolongkan sebagai skandal atau fenomena yang tidak baik, oleh karena apa yang diungkap substansinya hanya satu yakni terkait dengan penghindaran pajak. Didalam konteks Pandora Papers ini ada dua nama Pejabat Tinggi di Indonesia yang disinggung. Apakah dengan tercantumnya nama-nama mereka di Pandora Papers ini, sudah dapat dikatakan bahwa mereka bersalah secara hukum. “Perlu dilakukan sebenarnya adalah penyelidikan lebih dahulu, pemerintah Indonesia harus memiliki politic willden atau moral will yang sungguh-sungguh serius untuk penyelidikan itu”, ujarnya, Rabu (20/10/2021).
Dia menuturkan, karena pengalaman tentang skandal-skandal didalam Papers ini tidak pernah Indonesia itu menyelidikinya, membiarkan menjadi angin berlalu. Sehingga kita selama ini tidak pernah mendengar bahwa orang-orang kaya yang ada disana, atau pejabat-pejabat tinggi. Karena tanpa penyelidikan, dan tanpa penyidikan tidak boleh kita mengatakan yang bersangkutan itu patut diduga bersalah, disangka saja belum boleh.”Kenapa demikian karena bukti-bukti yang menunjukkan ke arah sana. Sebagaimana kita ketahui, skandal-skandal papers ini adalah intinya perusahaan-perusahaan yang disebut perusahaan cangkang,” ungkapnya.
Menurutnya, dimana untuk perusahaan cangkang itu sebenarnya legal, tetapi perusahaannya itu sendiri yang didirikan secara legal disuatu negara tertentu itu pasif itu, dia tidak melakukan aktifitas. Perusahaan-perusahan semacam ini menurut hukum Indonesia, menurut peraturan di Indonesia digolongkan sebagai SPV. Dan itu ada di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas kita, ada didalam peraturan perpajakan kita, dan itu diakomodir.”Untuk bisa menyangka seseorang, atau menduga seseorang itu sudah melakukan perbuatan melawan hukum baik itu secara perdata, pidana, ataupun lebih tepat lagi secara perpajakan,” katanya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, manakalah harus ada penyelidikan lebih dahulu, jika tidak ada penyelidikan dan penyidikan terlalu prematur mengatakan hal demikian. Ketika ini menjadi mengemuka, maka pertanyaannya adalah mengapa ini menjadi heboh, karena secara praktek perusahaan-perusahaan cangkang ini biasanya didirikan dinegara-negara yang digolongkan tax seven, negara-negara yang sorga pajak, negara-negara yang mengutip pajak sangat rendah bahkan ada yang nol persen. “Sehingga asosiasi praktis dari orang-orang yang ada disana itu adalah bermotif bertujuan melakukan penghindaran pajak atau lebih tepatnya bahkan penggelapan pajak,” bebernya.
Dia menjelaskan, kalau secara normal orang boleh tidak berkegiatan diluar negeri, warga Negara Indonesia melakukan kegiatan diluar negeri boleh-boleh saja, ada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja Wanita (TKW) itu bekerja diluar negeri, dan mereka juga membayar pajak disana. Tinggal lagi persoalannya mereka sebagai warga negara Indonesia. Dan berdasarkan prinsip nasionalitas mereka, maka mereka wajib juga melaporkan kembali penghasilannya di Indonesia, dan mereka wajib menyetor SPTnya di Indonesia. “Mereka sudah disana dikenakan pajak, bekerja disana menerima penghasilan diluar negeri lalu membayar pajak dinegara yang bersangkutan, boleh itu memang negara sumber yang berhak memetik pajak atas mereka”, jelasnya.
Tetapi, sambung Petrus Layoni, pada sisi lain karena mereka sebagai warga Negara Indonesia, berdasarkan prinsip nasionalitas dan berdasarkan prinsip penghasilan yang bersifat fluktuatif income mereka juga wajib tetap melaporkan SPTnya di Indonesia. Tinggal dibandingkan, kalau dibandingkan dengan tarif pajak Indonesia pembayaran pajak mereka sama atau lebih besar itu ya sudah, itu adalah untuk mereka, tetapi kalau kurang tetap harus bayar selisih kurangnya, itu kalau normal dan itu kalau yang jujur. “Begitu juga orang berdagang, Warna Negara Indonesia berdagang diluar negeri, didalam konteks Internasional bisnis bisa terjadi. Tapi kalau normal dan jujur seperti itu, mereka dikenakan pajak di negara sumber dimana mereka berdagang atau berbisnis itu melakukan Internasional Trik bisa-bisa dan wajar-wajar saja,” tegasnya.
Ditambahkannya, untuk tarif PPh Pajak itu untuk saat ini yang berlaku adalah 22 persen dari laba kena pajak, dan saya ingin mengoreksi mengenai pernyataan orang yang mengatakan tarif pajak kita adalah 35 persen itu salah, yang benar tarif pajak badan saat ini berlaku, bahkan tidak jadi diturunkan tetap 22 persen. Dengan adanya harmonisasi peraturan perpajakan, rencana yang sebelumnya menurut Undang-Undang Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka covid 19 menjadi 20 persen, namun tidak jadi, Menteri tetap mempertahankan dirate yakni 22 persen.
“Jadi informasi tarif Pph badan itu bukan 35 persen, tetapi yang benar 22 persen. Kalau itu dari laba setelah dikenakan pajak biasanya menjadi laba ditahan, dibagi menjadi defiden, dan defiden itu benar dikenakan pajak lagi, tapi dalam konteks pajak orang pribadi,” pungkasnya. (Yanti)
