Dorong Penulisan Naskah Drama Sejarah di Sumsel
PALEMBANG,MEDIASRIWIJAYA – Prihatin minimnya penulisan naskah drama berbasis narasi sejarah. Laboratorium Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sriwijaya (Unsri) selenggarakan workshop dengan tema “Penulisan Naskah untuk Pementasan Drama Bergenre Sejarah Berdasarkan Historiografi di Kota Palembang”. Kegiatan ini diadakan di Laboratorium Pendidikan Sejarah FKIP Unsri Kampus Ogan. Sabtu (9/3).
Sebanyak 32 peserta didatangkan secara langsung dan 52 peserta lain mengikuti secara online. 32 orang tersebut adalah mahasiswa Semester II Pendidikan Sejarah Unsri. “Kita sengaja tidak terlalu banyak mengundang peserta. Karena ini bentuknya workshop. Yang nantinya dari 32 peserta ini dibagi 8 kelompok. Sehingga dapat dihasilkan 8 naskah drama sejarah,” tandas Indra Alam Prawira Negara selaku ketua kegiatan.
Narasumber utama dalam workshop ini merupakan penggiat drama, dosen dan wakil dekan I FKIP Unsri, Dr. Rita Indrawati, M.Pd. Menurut Rita, mahasiswa untuk belajar menulis naskah drama harus memperhatikan struktur dasar naskah drama, termasuk pengenalan, konflik, klimaks, dan penyelesaian. Oleh sebabnya, naskah harus dibangun dengan narasi yang kuat dan memikat. Naskah drama tersebut juga harus dibaca orang lain untuk mendapatkan umpan balik konstruktif. Sekaligus dalam proses penulisan naskah drama penting direvisi dan disunting. “Saya melihat naskah drama lebih banyak dikerjakan oleh anak-anak sastra. Padahal naskah drama juga bisa ditulis dengan baik oleh anak-anak sejarah,” katanya.
Kenapa harus melibatkan anak-anak sejarah. Menurutnya drama bernarasi sejarah temanya cukup banyak di Sumatera Selatan. Seperti narasi Demang Lebar Daun, the Story Ratu Bagus Kuning, Ratu Sinuhun dan Simbur Cahaya, serta Parameswara yang sudah dipentaskan oleh anak-anak sastra. “Penulisan naskah untuk pementasan dan produksi drama sejarah, saya yakin, akan menarik jika ditulis oleh anak-anak sejarah. Karena mereka lebih paham membangun narasi sejarah dalam naskah tersebut. Tinggal lagi mereka diasah untuk belajar menuliskan konflik, klimaks dan penyelesaian jalan ceritanya. Ini menurut saya tantangan yang harus dijadikan peluang untuk tumbuh kembang di kalangan mahasiswa sejarah”, papar Dr. Rita Indrawati .
Peninjauan secara kritis perjalanan drama dalam sejarah di Kota Palembang disajikan Dr. Dedi Irwanto, M.A. selaku narasumber kedua. Dedi yang juga sejarawan Sumsel ini menilai ada penurunan di masa kini pertunjukkan drama dibanding masa kolonial di Kota Palembang. Menurutnya paling tidak ada 2 penyebabnya. Pertama, ketiadaan naskah fundamental yang bisa dijadikan referensi. Kedua, langkanya pertunjukkan seni drama di tengah gempuran globalisasi seni saat ini. “Pada masa kolonial, banyak karya-karya, pra-kolonial yang digali menjadi naskah drama. Misalnya naskah syair Abdulmuluk yang menjadi pakem Dulmuluk. Atau cerita-cerita rakyat yang menjadi dasar pertunjukan teater Bangsawan. Cerita Pangeran Buaya Putih versi Pemulutan atau Hang Tua pernah menjadi popular dalam pertunjukan Bangsawan Palembang,” katanya.
Menurutnya teater Bangsawan ini berasal dari toneel yang sudah berkembang ketika Belanda masuk. Belanda sudah membuat pertunjukan toneel di kastel Batavia tahun 1619. Toneel ini kata Dedi, populer di Singapura dengan group miss Riboet yang mengadakan pertunjukan di Societiet Palembang sejak awal abad 20. Lalu mempengaruhi teater khas Palembang, Bangsawan. “Kegiatan pertunjukan drama cukup masif di Palembang pada masa kolonial, sehingga Belanda membuat 2 societiet, di samping BKB dan Plaju untuk pertunjukan drama tersebut. Selain Dulmuluk, Teater Bangsawan juga mengadakan pertunjukan. Sampai kurun 1942-1945, masa Jepang, teater Bangsawan menyulap bioskop Flora atau Oriental, bioskop pertama di Palembang menjadi tempat pertunjukan mereka Gedung Bintang Berlian. Setiap pertunjukan drama selalu dipenuhi penggemarnya”, kata Dr Dedi Irwanto yang pernah menulis cerpen sejarah pemenang utama Penasumsel Gemilang 2012 ditengah peserta workshop.
Namun sayang, di masa kini pertunjukan drama, meredup. Kadang teater drama terbatas di sekolah-sekolah atau kampus di Palembang sebagai unit kegiatan saja. Kalaupun dilombakan lebih bersifat insidental, seperti lomba teater sekolah yang diadakan individu dan tidak kontinyu. Padahal sampai tahun 1980-an, Palembang masih memiliki teater Potlot yang menasional. Keadaan ini harus dimanfaatkan oleh anak-anak sejarah untuk menggalakan lagi pementasan drama. Karena narasi sejarah atau cerita rakyat lebih menarik jika dikemas menjadi naskah drama”, imbau alumnus UGM tersebut.
Sejarawan muda Alif P. Bahtiar, M.Hum. sebagai pembicara ketiga menyoroti minimnya film-film atau novel dengan skenario sejarah di Sumatera Selatan. Realitas ini tidak pararel dengan yang terjadi dipusat misal dengan karya-karya Pramudya Ananta Toer yang dijadikan film bernuansa sejarah. Padahal, menurutnya ini peluang besar yang dapat dimanfaatkan oleh anak-anak sejarah. Alif mencontohkan karya-karya Iksaka Banu yang menjadi best seller untuk novel berbasis sejarah, seperti “Semua untuk Hindia” atau “Pangeran dari Timur” novel riwayat Raden Saleh yang berdasarkan fakta sejarah yang diramu dalam fiksi. “Naskah drama ini bisa dikembangkan menjadi novel atau skrip film. Nah, hebatnya Iksaka Banu ini sarjana desain grafis. Bukan berlatar belakang pendidikan sejarah. Saya yakin jika ada kemauan kuat, anak-anak sejarah, bisa menulis naskah drama, novel-novel dan skenario film dengan genre sejarah di suatu saat kelak. Oleh karenanya, saya sarankan anak-anak sejarah mulailah menulis berbagai naskah drama bergenre sejarah. Karena ini salah satu peluang yang bisa dimanfaatkan oleh mahasiswa pendidikan sejarah”, inspirasi Alif dalam paparannya.
Kegiatan ditutup dengan pemberian tugas pembuatan naskah drama untuk 8 kelompok yang mengikuti workshop tersebut. Mereka ditugaskan untuk memproduksi naskah drama bergenre sejarah berdasarkan peristiwa masa lalu di Palembang. Seperti tema Sido Ing Suro Tuo, Sido Ing Rejek, Cinde Belang, SMB II, Penghancuran Loji Sungai Aur, termasuk berdasarkan roman legendari bersetting masa lampau Palembang “Dian ta’ koendjoeng padam” karya sastrawan besar, Sutan Takdir Alisyabana. Produksi naskah terbaik dari peserta nantinya akan dipentaskan di Laboratorium Pendidikan Bahasa yang memiliki mini teater. Sehingga kegiatan ini kelak dapat memacu lebih banyak lagi penulisan naskah drama bergenre sejarah di Sumatera Selatan.